Celebrating Indonesian Independence Day on Mt. Papandayan: Exploring the Exotic Dead Forest
Take nothing but pictures.
Leave nothing but footprints.
Kill nothing but time.
The 3 mottos above are also a message that I always see
displayed on every corner of any mountain climbing sign
On August 17-18, 2024, I celebrated the Independence Day of
the Republic of Indonesia in a different way: climbing Mount Papandayan, which
is famous for its exotic Dead Forest. Located at an altitude of 2,322 meters
above sea level, Mount Papandayan offers stunning views that make this trip an
unforgettable experience. This time I chose an open trip as my departure route.
Actually, the height of this mountain reaches 2,665 meters above sea level to
the peak. But usually open trips do not open routes to the peak, only if
assisted by a local guide can you get there. So I wrote the title of this
article with Mount Papandayan 2,322 meters above sea level, because we only
climbed to the dead forest with an altitude of 2,322 meters above sea level.
Starting the Journey
Our journey began on the night of August 16, from the Jakarta
meeting point at Halim with the Tiga Dewa Nusantara opentrip. After a 5-hour
bus ride, we arrived at the Tiga Dewa basecamp at the foot of Mount Papandayan.
The simple and cold basecamp forced us to quickly go to sleep in our sleeping
bags, while others chose to endure the cold night without sleeping bags.
On August 17, after a simple breakfast at the basecamp, we
took the time to explore the surroundings. I climbed a tower near the basecamp
and took a shower in the toilet with very cold water.
At 10 am, we started the climb. My heart was pounding, but
the climbing route was quite safe with 70% of the path being flat. Even so, the
hot temperature and limited trees in the dead forest made the journey tiring.
The short-sleeved shirt I was wearing didn't help, so when I got home from the
mountain, my skin was burnt by the sun. My advice is that if you want to climb
a mountain, it's better to wear a long-sleeved shirt.
The climb took about 4 hours with lots of rest. At 2 pm, we
arrived at Pondok Saladah, where we would camp. Here, the weather was getting
colder, and I spent time exploring the camping area, walking around the yellow
savanna, and taking pictures with the stunning natural backdrop.
In the evening, we enjoyed dinner prepared by the tour guide
at a food stall, accompanied by warm stories around the campfire.
Unfortunately, my sleep was uncomfortable because of the cold night, and with
only one hoodie that I brought, I had a very cold night.
On August 18, we woke up at 4:30 am to go to the sunrise camp
located in the Dead Forest. After 15 minutes of trekking from Pondok Saladah,
we arrived at a place that offered a spectacular view of the sunrise. We also
had time to enjoy the edelweiss flower garden, a symbol of the beauty of Mount
Papandayan.
After enjoying the sunrise and a delicious breakfast of
chicken rice, Madura chili sauce, and es doger, we started our journey down the
mountain. The climb down took 3 hours, and after that, we returned to the
basecamp to catch a bus to Jakarta.
As a beginner climber, Mount Papandayan is the perfect
choice. The safe and not too tiring trekking terrain makes this experience very
enjoyable. Compared to the 6-hour journey to Baduy Dalam, Papandayan feels
easier. Regarding the posts here there are many but not regular. In each post there are also many rest stops and there are stalls and toilets.
With this experience, I fell even more in love with mountains
and deepened my love for the natural beauty of Indonesia. Celebrating the
country's independence in a way that is so close to nature is a priceless
experience. Happy Independence Day, Indonesia!
Indonesia Version
- Jangan ambil
sesuatu kecuali gambar.
- Jangan meninggalkan
sesuatu kecuali jejak.
- Jangan bunuh
sesuatu kecuali waktu.
3 Motto diatas sekaligus menjadi sebuah pesan yang selalu ku lihat terpampang di setiap sudut papan petunjuk pendakian gunung manapun
Pada tanggal 17-18 Agustus 2024, saya merayakan Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia dengan cara yang berbeda: mendaki Gunung Papandayan, yang terkenal
dengan Hutan Mati yang eksotis. Berada di ketinggian 2.322 mdpl, Gunung
Papandayan menawarkan pemandangan menakjubkan yang membuat perjalanan ini
menjadi pengalaman tak terlupakan. Kali ini saya memilih opentrip sebagai jalur
keberangkatanku. Sebenarnya ketinggian gunung ini mencapai 2.665 mdpl sampai
puncak. Tapi biasanya opentrip tidak membuka jalur sampai puncak, hanya jika
dibantu dengan local guide saja yang bisa kesana. Sehingga saya menuliskan
judul artikel ini dengan gunung Papandayan 2.322 mdpl, karena kita hanya
mendaki sampai hutan mati nya saja dengan ketinggian 2.322 mdpl tersebut.
Memulai
Perjalanan
Perjalanan kami dimulai pada
malam tanggal 16 Agustus, dari meeting point Jakarta di Halim bersama opentrip
Tiga Dewa Nusantara. Setelah perjalanan selama 5 jam dengan bus, kami tiba di
basecamp Tiga Dewa di kaki gunung Papandayan. Basecamp yang sederhana dan
dingin memaksa kami untuk cepat tidur di dalam sleeping bag, sementara yang
lain memilih untuk menahan dinginnya malam tanpa sleeping bag.
Eksplorasi
Basecamp dan Pendakian
Tanggal 17 Agustus, setelah
sarapan pagi yang sederhana di basecamp, kami memanfaatkan waktu untuk
mengeksplorasi sekitar. Saya menaiki menara dekat basecamp dan mandi di toilet
dengan air yang sangat dingin.
Pukul 10 pagi, kami memulai
pendakian. Hati saya berdebar-debar, namun jalur pendakian cukup aman dengan
70% jalannya yang landai. Meskipun begitu, suhu panas dan terbatasnya pepohonan
di hutan mati membuat perjalanan terasa melelahkan. Kaos lengan pendek yang
saya kenakan tidak membantu, sehingga pulang dari gunung, kulit saya gosong
terbakar matahari. Saran saya memang kalau mau naik gunung baiknya menggunakan kaos
lengan panjang.
Pendakian memakan waktu sekitar 4
jam dengan banyak istirahat. Pukul 2 siang, kami tiba di Pondok Saladah, tempat
kami akan berkemah. Di sini, cuaca semakin dingin, dan saya menghabiskan waktu
mengeksplorasi area camping, berjalan-jalan di savana yang menguning, dan
berfoto dengan latar alam yang menakjubkan.
Malam hari, kami menikmati makan
malam yang disiapkan oleh tour guide di sebuah warung, diiringi dengan
cerita-cerita hangat di sekitar api unggun. Sayangnya, tidur saya tidak nyaman
karena dinginnya malam, dan hanya dengan satu hoodie yang saya bawa, saya
mengalami malam yang sangat dingin.
Sunrise di Hutan
Mati
Tanggal 18 Agustus, kami bangun
pukul 4:30 pagi untuk menuju sunrise camp yang berada di Hutan Mati. Setelah 15
menit trekking dari Pondok Saladah, kami tiba di tempat yang menawarkan
pemandangan matahari terbit yang spektakuler. Kami juga sempat menikmati
pekarangan bunga edelweis, simbol keindahan Gunung Papandayan.
Setelah menikmati sunrise dan
sarapan yang lezat dengan nasi ayam, sambal Madura, dan es doger, kami memulai
perjalanan turun gunung. Pendakian turun memakan waktu 3 jam, dan setelah itu,
kami kembali ke basecamp untuk naik bus menuju Jakarta.
Refleksi dan
Cinta pada Gunung
Sebagai pendaki pemula, Gunung
Papandayan merupakan pilihan yang sempurna. Medan trekking yang aman dan tidak
terlalu melelahkan membuat pengalaman ini sangat menyenangkan. Jika
dibandingkan dengan perjalanan ke Baduy Dalam yang memakan waktu 6 jam, Papandayan
terasa lebih mudah. Mengenai pos disini ada sangat banyak tetapi tidak beraturan. Di tiap pos juga ada banyak tempat perhentian untuk beristirahat dan ada warung dan toilet.
Dengan pengalaman ini, saya
semakin jatuh cinta pada gunung dan mendalami kecintaan saya terhadap keindahan
alam Indonesia. Merayakan kemerdekaan negara dengan cara yang begitu dekat
dengan alam adalah sebuah pengalaman yang tak ternilai harganya. Selamat Hari Kemerdekaan, Indonesia!