Jumat, 30 Agustus 2024

Celebrating Indonesian Independence Day on Mt. Papandayan: Exploring the Exotic Dead Forest

 

group photo starting the climb

Take nothing but pictures.

Leave nothing but footprints.

Kill nothing but time.

 

The 3 mottos above are also a message that I always see displayed on every corner of any mountain climbing sign

 

i enjoy the basecamp tower

On August 17-18, 2024, I celebrated the Independence Day of the Republic of Indonesia in a different way: climbing Mount Papandayan, which is famous for its exotic Dead Forest. Located at an altitude of 2,322 meters above sea level, Mount Papandayan offers stunning views that make this trip an unforgettable experience. This time I chose an open trip as my departure route. Actually, the height of this mountain reaches 2,665 meters above sea level to the peak. But usually open trips do not open routes to the peak, only if assisted by a local guide can you get there. So I wrote the title of this article with Mount Papandayan 2,322 meters above sea level, because we only climbed to the dead forest with an altitude of 2,322 meters above sea level.

 

basecamp environment atmosphere


waste sorting place at basecamp tower


Starting the Journey

Our journey began on the night of August 16, from the Jakarta meeting point at Halim with the Tiga Dewa Nusantara opentrip. After a 5-hour bus ride, we arrived at the Tiga Dewa basecamp at the foot of Mount Papandayan. The simple and cold basecamp forced us to quickly go to sleep in our sleeping bags, while others chose to endure the cold night without sleeping bags.


 Basecamp Exploration and Climbing

On August 17, after a simple breakfast at the basecamp, we took the time to explore the surroundings. I climbed a tower near the basecamp and took a shower in the toilet with very cold water.

Mount Papandayan climbing route


At 10 am, we started the climb. My heart was pounding, but the climbing route was quite safe with 70% of the path being flat. Even so, the hot temperature and limited trees in the dead forest made the journey tiring. The short-sleeved shirt I was wearing didn't help, so when I got home from the mountain, my skin was burnt by the sun. My advice is that if you want to climb a mountain, it's better to wear a long-sleeved shirt.


The climb took about 4 hours with lots of rest. At 2 pm, we arrived at Pondok Saladah, where we would camp. Here, the weather was getting colder, and I spent time exploring the camping area, walking around the yellow savanna, and taking pictures with the stunning natural backdrop.

Our dinner meals

Night view in Pondok Saladah Camp

In the evening, we enjoyed dinner prepared by the tour guide at a food stall, accompanied by warm stories around the campfire. Unfortunately, my sleep was uncomfortable because of the cold night, and with only one hoodie that I brought, I had a very cold night.


The sunrise view in the dead forest


 Sunrise in the Dead Forest

On August 18, we woke up at 4:30 am to go to the sunrise camp located in the Dead Forest. After 15 minutes of trekking from Pondok Saladah, we arrived at a place that offered a spectacular view of the sunrise. We also had time to enjoy the edelweiss flower garden, a symbol of the beauty of Mount Papandayan.

Me with Edelwies Flower

Me in the Savanah area

After enjoying the sunrise and a delicious breakfast of chicken rice, Madura chili sauce, and es doger, we started our journey down the mountain. The climb down took 3 hours, and after that, we returned to the basecamp to catch a bus to Jakarta.


 Reflection and Love for Mountains

As a beginner climber, Mount Papandayan is the perfect choice. The safe and not too tiring trekking terrain makes this experience very enjoyable. Compared to the 6-hour journey to Baduy Dalam, Papandayan feels easier. Regarding the posts here there are many but not regular. In each post there are also many rest stops and there are stalls and toilets.



With this experience, I fell even more in love with mountains and deepened my love for the natural beauty of Indonesia. Celebrating the country's independence in a way that is so close to nature is a priceless experience. Happy Independence Day, Indonesia!



Indonesia Version

Sun rise in the forest dead, sun rise point view


Merayakan Kemerdekaan Indonesia di Gunung Papandayan: Menjelajahi Hutan Mati yang Eksotis

 

  • Jangan ambil sesuatu kecuali gambar.
  • Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak.
  • Jangan bunuh sesuatu kecuali waktu.

3 Motto diatas sekaligus menjadi sebuah pesan yang selalu ku lihat terpampang di setiap sudut papan petunjuk pendakian gunung manapun


Pada tanggal 17-18 Agustus 2024, saya merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara yang berbeda: mendaki Gunung Papandayan, yang terkenal dengan Hutan Mati yang eksotis. Berada di ketinggian 2.322 mdpl, Gunung Papandayan menawarkan pemandangan menakjubkan yang membuat perjalanan ini menjadi pengalaman tak terlupakan. Kali ini saya memilih opentrip sebagai jalur keberangkatanku. Sebenarnya ketinggian gunung ini mencapai 2.665 mdpl sampai puncak. Tapi biasanya opentrip tidak membuka jalur sampai puncak, hanya jika dibantu dengan local guide saja yang bisa kesana. Sehingga saya menuliskan judul artikel ini dengan gunung Papandayan 2.322 mdpl, karena kita hanya mendaki sampai hutan mati nya saja dengan ketinggian 2.322 mdpl tersebut.

 


Memulai Perjalanan

Perjalanan kami dimulai pada malam tanggal 16 Agustus, dari meeting point Jakarta di Halim bersama opentrip Tiga Dewa Nusantara. Setelah perjalanan selama 5 jam dengan bus, kami tiba di basecamp Tiga Dewa di kaki gunung Papandayan. Basecamp yang sederhana dan dingin memaksa kami untuk cepat tidur di dalam sleeping bag, sementara yang lain memilih untuk menahan dinginnya malam tanpa sleeping bag.

Eksplorasi Basecamp dan Pendakian

Tanggal 17 Agustus, setelah sarapan pagi yang sederhana di basecamp, kami memanfaatkan waktu untuk mengeksplorasi sekitar. Saya menaiki menara dekat basecamp dan mandi di toilet dengan air yang sangat dingin.

Pukul 10 pagi, kami memulai pendakian. Hati saya berdebar-debar, namun jalur pendakian cukup aman dengan 70% jalannya yang landai. Meskipun begitu, suhu panas dan terbatasnya pepohonan di hutan mati membuat perjalanan terasa melelahkan. Kaos lengan pendek yang saya kenakan tidak membantu, sehingga pulang dari gunung, kulit saya gosong terbakar matahari. Saran saya memang kalau mau naik gunung baiknya menggunakan kaos lengan panjang.

Pendakian memakan waktu sekitar 4 jam dengan banyak istirahat. Pukul 2 siang, kami tiba di Pondok Saladah, tempat kami akan berkemah. Di sini, cuaca semakin dingin, dan saya menghabiskan waktu mengeksplorasi area camping, berjalan-jalan di savana yang menguning, dan berfoto dengan latar alam yang menakjubkan.

enojy coffee in the camping area


Malam hari, kami menikmati makan malam yang disiapkan oleh tour guide di sebuah warung, diiringi dengan cerita-cerita hangat di sekitar api unggun. Sayangnya, tidur saya tidak nyaman karena dinginnya malam, dan hanya dengan satu hoodie yang saya bawa, saya mengalami malam yang sangat dingin.

Sunrise di Hutan Mati

Tanggal 18 Agustus, kami bangun pukul 4:30 pagi untuk menuju sunrise camp yang berada di Hutan Mati. Setelah 15 menit trekking dari Pondok Saladah, kami tiba di tempat yang menawarkan pemandangan matahari terbit yang spektakuler. Kami juga sempat menikmati pekarangan bunga edelweis, simbol keindahan Gunung Papandayan.

Setelah menikmati sunrise dan sarapan yang lezat dengan nasi ayam, sambal Madura, dan es doger, kami memulai perjalanan turun gunung. Pendakian turun memakan waktu 3 jam, dan setelah itu, kami kembali ke basecamp untuk naik bus menuju Jakarta.



Refleksi dan Cinta pada Gunung

Sebagai pendaki pemula, Gunung Papandayan merupakan pilihan yang sempurna. Medan trekking yang aman dan tidak terlalu melelahkan membuat pengalaman ini sangat menyenangkan. Jika dibandingkan dengan perjalanan ke Baduy Dalam yang memakan waktu 6 jam, Papandayan terasa lebih mudah. Mengenai pos disini ada sangat banyak tetapi tidak beraturan. Di tiap pos juga ada banyak tempat perhentian untuk beristirahat dan ada warung dan toilet.

Dengan pengalaman ini, saya semakin jatuh cinta pada gunung dan mendalami kecintaan saya terhadap keindahan alam Indonesia. Merayakan kemerdekaan negara dengan cara yang begitu dekat dengan alam adalah sebuah pengalaman yang tak ternilai harganya. Selamat Hari Kemerdekaan, Indonesia!

Me with the tour guide

Me in the sun rise point

Me in the Savannah Area

 

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *